Ayah dan Arah
Pdt. Paul Gunadi
Ada
satu pengamatan yang saya saksikan berulang kali dalam praktik konseling yang
cukup menyedihkan hati, yakni anak laki-laki, yang dibesarkan dalam keluarga di
mana keterlibatan ayah sangat minim, cenderung bertumbuh menjadi pemuda tanpa
arah. Pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa ada kaitan yang erat antara
keterlibatan ayah dan pertumbuhan kepribadian anak laki-laki. Saya perhatikan biasanya
anak-anak seperti ini memperlihatkan beberapa ciri yang serupa misalnya, mereka
memiliki banyak keraguan dan ketidakpastian dalam hidup. Mereka bersikap pasif
dan menuntut orang untuk senantiasa memahami dan menyediakan kebutuhan mereka.
Di dalam mengarungi kehidupan, biasanya mereka mencari-cari "sesuatu"
sehingga apa pun yang mereka lakukan tidak akan mampu memberikan kepuasan yang
sepenuhnya. Dengan kata lain, mereka adalah orang yang terus mencari tempat
atau habitat mereka dalam hidup ini.
Semua
anak-laki atau perempuan - membutuhkan ayah namun secara khusus anak laki-laki
membutuhkan figur ayah untuk identifikasi. Saya jelaskan apa yang saya maksud
dengan identifikasi. Pada umumnya kita menggunakan istilah identifikasi dalam
pengertian bahwa kita melihat adanya persamaan antara yang dimiliki atau
dialami seseorang dengan yang kita alami atau miliki. Misalnya, kita berkata
bahwa kita dapat mengidentifikasi dengan perasaan seorang teman yang kehilangan
pasangannya sebab kita pun pernah kehilangan pasangan kita. Namun sebenarnya
Freud memperkenalkan istilah identifikasi bukan dengan pemahaman itu. Menurut
Freud, identifikasi adalah menginternalisasikan kualitas yang ada pada orang
lain ke dalam diri sendiri. Jadi, semakin dekat hubungan kita dengan seseorang
dan semakin berpengaruh orang itu dalam hidup kita, semakin banyak sifat atau
kualitasnya yang akan kita serap dan jadikan bagian diri kita.
Ayah
dan ibu adalah objek identifikasi terdini dan terkuat. Mereka adalah pemasok
bahan yang nantinya diinternalisasikan anak ke dalam dirinya. Semakin banyak
interaksi orangtua dan anak, semakin banyak bahan dari orangtua yang akan
diserap oleh anak. Bahan yang telah diserap ini kemudian menjadi bagian dari
kepribadian anak itu. Sudah tentu di sini berlaku sebuah hukum alam: Bahan
buruk akan masuk menjadi bagian yang buruk dari kepribadian anak sedangkan
bahan baik akan masuk menjadi bagian yang baik dari kepribadian anak.
Salah
satu bahan yang seharusnya diserap oleh anak ialah bahan yang berkaitan dengan
peran sebagai laki-laki atau perempuan. Dapat kita duga bahwa anak perempuan
akan menyerap banyak dari ibu sedangkan anak laki akan menyerap dari ayah. Dari
ayahlah anak laki-laki belajar menjadi seorang pria dan menjadi pria dalam
kebanyakan budaya berarti menjadi seseorang yang tahu akan arah hidupnya, sebab
bukankah pada akhirnya pria diharapkan mengepalai keluarganya sendiri?
Kira-kira
seperti inilah prosesnya. Pada awalnya semua anak menginternalisasi dari ibu
sebab ibulah yang berperan besar pada masa pertumbuhan awal. Dengan
bertambahnya usia, anak laki-laki akan harus mengalihkan objek identifikasinya
dari ibu ke ayah atas dasar persamaan jenis kelamin. (Sudah tentu anak
perempuan tidak perlu mengubah objek identifikasinya.) Ketidakhadiran ayah
dalam pertumbuhan anak laki-laki bukan saja akan menciptakan kevakuman objek
identifikasi - dan inilah yang akan terus dicari oleh si anak sampai usia
dewasanya - kevakuman ini juga telah menciptakan kekosongan arah hidup. Mereka
tidak tahu bagaimana mengambil keputusan, tidak tahu apa yang sebenarnya mereka
inginkan (sudah tentu mereka akan malu untuk mengakuinya), dan mereka memiliki
seribu satu macam keraguan. Pada akhirnya ironi inilah yang saya lihat: Di
belakang ayah-ayah yang terpuji dan terhormat terdapat anak laki-laki yang
bingung dan penuh dengan ketidakpastian.
Kunci
penyelesaian dari semua ini adalah keterlibatan. Saya perhatikan ada perbedaan
antara ayah yang hanya berfungsi sebagai panutan peran (role-modes dan ayah
yang terlibat dalam kehidupan anak laki-lakinya. Ayah yang indah tetapi tidak
terlibat dalam kehidupan anak lakilakinya dapat diibaratkan seperti ikan hias
di dalam akuarium - sedap dipandang namun sedikitpun tidak bersentuhan dengan
kehidupan anaknya. Memang ayah yang seperti ini akan menjadi panutan peran yang
positif namun masalahnya adalah, ayah ini tidak melakukan apaapa untuk menolong
anak laki-lakinya menjadi seperti dirinya - mantap dan terarah - karena ia
tidak cukup terlibat untuk menjadi penyedia bahan identifikasi bagi anak laki-lakinya.
Acapkali
kehilangan keterlibatan ayah bukan saja menghasilkan pribadi yang
terombang-ambing tanpa ayah tetapi juga menyulut kemarahan, yang biasanya
muncul dalam bentuk pemberontakan atau apati. Mohon perhatikan perbandingan
ini. Ada anak yang bertumbuh tanpa ayah karena ayah mereka telah meninggal
dunia. Sudah tentu mereka akan mengalami kesedihan dan akan merindukan
kehadiran ayah dalam hidup mereka. Namun jika situasinya adalah, mereka
kehilangan ayah bukan karena kematian melainkan karena kesibukan atau
kekurangpedulian, reaksi yang muncul bukan hanya rindu tetapi juga marah.
Mereka marah karena mereka melihat bahwa sebenarnya ayah bisa memberikan
perhatian namun tidak mau atau tidak cukup peduli. Di pihak lain, mereka
merindukan ayah dan mungkin ingin menjadi seperti ayah namun tidak mampu.
Alhasil, kemarahan dan kerinduan bercampur dalam diri anak menciptakan konflik
internal yang tak terselesaikan.
Amsal
menyajikan sebuah skenario yang indah mengenai hubungan ayah-anak dan hikmat,
"Dengarkanlah hai anak-anak didikan seorang ayah dan perhatikanlah supaya
engkau beroleh pengertian, ... Karena ketika aku masih tinggal di rumah ayahku
sebagai anak ... aku diajari ayahku, katanya kepadaku, 'Biarlah hatimu memegang
perkataanku; berpeganglah pada petunjuk-petunjukku, maka engkau akan
hidup." (4:1-4)
"Diajari
ayahku." Betapa indah dan akrab, namun tampaknya itulah yang sekarang
telah terhilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar